February 27, 2013

Februari

Februari. Yah… Bulan penuh cinta memang.
Tapi entah kenapa, aku merasa akan lebih baik jika bulan ini cepat berlalu, atau dihilangkan saja? Banyak, bahkan terlalu banyak kenangan pahit yang disimpan bulan ini. Perlukah aku jelaskan?
Yah, sebut saja, bulan ini, aku mulai merasakan cinta, dan tepat di bulan ini cinta itu juga harus mati. Tahun lalu tepat di bulan yang sama, Cinta juga membunuhku. 3 tahun lalu, tepat di bulan yang sama, aku kehilangan cintaku. 10 tahun yang lalu. Tepat di bulan yang sama juga. Aku ditinggalkan sahabat terbaikku untuk selamanya. Masih mau bilang ini bulan penuh cinta? Pada kenyataannya ini bulan yang penuh dengan ‘SHIT’. Penuh dengan omong kosong. Penuh dengan lubang.

Hahaha….
Aku cukup menertawakannya saja.  Menertawakan kamu yang begitu memuja bulan ini. Pernahkah kamu merasakan, aku, perasaanku ketika kamu mengatakannya? Penderitaanku karena harus menjalani sebuah dilemma hidup dimana ada kamu didalamnya? Kenangan bersamamu untuk yang terakhir kali, Janji-janji kecil yang cukup membuat aku tenang. Yang membuat aku tidak perlu khawatir malam datang dan melaluinya dengan tenang karena aku yakin ada kamu disana, di hari selanjutnya. Pernah kamu pikir bagaimana rasanya melewati malam dengan kekhawatiran. Layaknya seorang anak kecil yang takut akan kegelapan dan monster malam? Kamu tahu bagaimana rasanya berada dalam posisi itu?
Berkali-kali aku memilah, membungkus satu persatu ingatanku. Sudah kukuatkan ikatannya agar tak lepas lagi. Ingatanku akan sosokmu yang dengan santainya berkata, ‘aku sudah bahagia sekarang, hiduplah dengan tenang dan layak ya?’. Kamu pikir mudah? Kamu yang bodoh atau aku yang oon disini?
Aku pikirkan berkali-kali, apa yang salah denganku? Apa yang salah dengan cara berpikirku? Atau bahkan ada yang salah dengan otakku, dengan kata lain, aku gila.
Ha? Ya, aku gila, gila karena kamu, sehingga aku harus di isolasi di ruang yang bernama kesendirian, dan bukan hanya jiwaku saja, tapi ragaku juga, ikut terisolasi. Hujan yang tidak mengijinkan aku untuk keluar dari rumahku sendiri. Dia tahu aku pribadi sendu, yang selalu menangis tiap aku merasa tertekan. Ya, menangis hanya satu-satunya jalanku membebaskan emosiku. Tapi emosiku hanya aku yang menyimpannya sendiri.
Kalian tahu, lampiasanku disini adalah salah satu bentuk nyata dari sebuah kecengenganku. Yang harusnya ini yang aku ceritakan pada kamu..
Lampiasan dari jiwaku, yang kini mati-matian membendung duka yang dengan kreatifnya kamu ciptakan dan tanamkan dihatiku. Oh, aku tahu, kenapa, karena kamu pikir, hatiku sudah rusak? Tubuhku sudah renta, hingga kamu bunuh perlahan begitu. Kenapa tidak saja langsung kamu bunuh, langsung hentikan jantungku, seperti penyakit yang aku derita? Mudah kan?
Tapi, itu semua adalah pilihanmu, aku tak lebih dari bonekamu. Benar kan?

No comments:

Post a Comment